e-Foodtech Future – Di negara tropis seperti Indonesia, dengan suhu dan kelembapan udara yang tinggi, perlu peningkatan kewaspadaan terhadap keamanan pangan terutama aspek keamanan mikrobiologi. Di Indonesia, sistem keamanan pangan nasional meggunakan prinsip analisis risiko telah dirilis pada tahun 2004. Namun sistem ini perlu direvitalisasi, terutama jaringannya yang melibatkan banyak pemangku kepentingan keamanan di Indonesia, supaya lebih terstruktur, konsisten, dan berkelanjutan.
Pangan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, pangan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai pangan baik, sehat, dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Kualitas pangan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam pangan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan. Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X –disease pada tahun 1960. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin, lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. sekitar 25%-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis.
Kavadya Syska, Koordinator Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto menjelaskan bahwa perbedaan sifat-sifat kimia, biologik, dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas ini juga ditentukan oleh: (1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; (2) rute pemaparan; (3) lamanya pemaparan; (4) spesies; (5) umur; (6) jenis kelamin; (7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan (8) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan. Selama penyimpanan, bahan pangan sangat mudah ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin.
Mikotoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder jamur benang (kapang). Pada jagung yang terkontaminasi oleh Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Aflatoksin merupakan molekul kecil, tidak larut dalam air, stabil dengan berbagai proses pengolahan. Penanganan pasca panen pada bahan pertanian seperti halnya serealia dan kacang-kacangan perlu dilakukan dengan baik. Biji-bijian yang kurang kering (dengan kadar air>12 %), akan ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur yang diantaranya berpotensi menghasilkan mikotoksin. Aflatoksin mempunyai senyawa bifuran yang bersifat non polar, stabil terhadap panas dan tahan terhadap perlakuan fisik maupun kimiawi. Dengan sifat-sifat ini, aflatoksin yang sudah mencemari bahan pangan sulit untuk dihilangkan. Bahkan aflatoksin B1 yang mencemari pakan dan terkonsumsi sapi perah juga tidak hilang sama sekali tetapi berubah menjadi aflatoksin M1 yang muncul pada susu yang memiliki toksisitas mirip dengan aflatoksin B1. Akumulasi toksin di dalam tubuh manusia ataupun hewan ternak memiliki efek hepatotoksik (kerusakan hati), hepatokarsinogenik (kanker hati), mutagenik, teratogenik, maupun immunosupresif.
Sumber: wawancara dan olah pustaka
Selamat Hari Keamanan Pangan Sedunia, 7 Juni 2020: Food Safety, Everyone’s Business
Teknologi Pangan: Kreatif, Inovatif, Luar Biasa
Teknologi Pangan: Developing Creative and Innovative Future
Leave a Reply