
UNU Purwokerto Gelar Stadium Generale “Aspek Hukum dan Politik Penerbitan HBG di Atas Laut, Apa Kata Pakar?
Purwokerto-Problematika atas terbitnya Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) diatas laut di perairan Tangerang, Banten, terus menjadi perbincangan hangat masyarakat dan para pakar. Atas peristiwa ini, Fakultas Sosial, Ekonomi, dan Humaniora Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto, menggelar Stadium Generale dengan tema “Aspek Hukum dan Politik Penerbitan HGB di Atas Laut”, pada Jumat (31/1/25).
Acara yang menghadirkan pakar hukum dan praktisi hukum ini, juga memantik diskusi dari peserta yang hadir dari Civitas Akademika UNU Purwokerto termasuk para mahasiswanya. Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Sosial, Ekonomi dan Humaniora, Dr. Sugeng Riyadi., S.H., M.H menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan stadium generale ini. Harapannya, acara ini bisa menjadi kajian dan menumbuhkan sikap kritis bagi civitas akademika UNU Purwokerto.
“Harapan saya, setelah diskusi ini, baik mahasiswa maupun para dosen bisa membuat kajian akademik yang lebih komprehensif, yang bisa diterbitkan dalam jurnal” tambahnya.
Lebih lanjut, saat membuka acara ini, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Si mengatakan sangat bangga ada kegiatan yang bisa memberikan pencerahan bagi civitas akademika UNU Purwokerto. “Pagar laut yang tengah viral ini, juga perlu kajian mendalam, termasuk telaah aturan hukum yang berlaku di Indonesia”.
Narasumber Dr. Sri Wahyu Handayani, S.H., M.H, Akademisi dari Unsoed Purwokerto menyampaikan pandangannya, jika berdasarkan Pasal 8 pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 telah diatur wilayah pesisir tidak dapat diberikan hak atas tanah, dalam hal merupakan bangunan yang terletak diluar batas wilayah laut provinsi; instalasi eksplorasi dan atau eksploitasi minyah bumi, gas, pertambangan, panas bumi; instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa dan jaringan transmisi lainnya; dan/atau bangunan yang terapung.
Selain itu, dalam Pasal 5 Ayat 2 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pemberian hak atas tanah pada wilayah perairan pesisir hanya dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah perairan pesisir, antara lain program stategis negara; kepentingan umum; permukiman diatas air bagi masyarakat hukum adat; dan/atau pariwisata. Lebih lanjut, dalam Pasal 65 Ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah disebutkan pemberian hak atas tanah di wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menyoroti adanya pagar laut ini, Narasumber Aan Rohaeni, S.H. Advokat dan Kurator di Purwokerto menjelaskan jika dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 ada ketentuan Pasal 66 yang memuat norma baru terkait tanah musnah yang sebenarnya tidak ada cantolan hukumnya dalam UU Cipta Kerja, tanah musnah hanya diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria.
“Terkait ketentuan Pasal PP Nomor 18 Tahun 2021 jo Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Tanah Musnah inilah yang menjadi pintu masuk “akal-akalan” tanah reklamasi”, ujarnya
Pemantik yang juga dimoderatori oleh Dr. Ari Tri Wibowo, S.H., M.H., M.Kn, ini menjadi semakin ramai setelah termin diskusi dengan peserta yang hadir dibuka. Mereka juga mengkritisi bagaimana pengawasan dan transparansi dalam penerbitan HGB agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Termasuk dampak ekonomi dan sosial dari adanya pagar laut ini terhadap masyarakat nelayan wilayah tersebut. Pemahaman ini tentu menjadi penting bagi para mahasiswa untuk bisa menumbuhkan sikap kritis dan bisa mengkaji lebih mendalam akan problematika yang ada.