Prinsip Islam dalam Merespon Tradisi (Adat/’Urf)*

Home / Kajian Aswaja / Prinsip Islam dalam Merespon Tradisi (Adat/’Urf)*

Oleh : Ansori

(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)

A. ‘Urf (Adat) Sebagai dasar Hukum

Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama’ Usul Fikih (ushuliyyun) bahwa sumber /dasar/dalil hukum Islam ada 2 (dua) yaitu sumber naqly (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan aqly (akal). Sunber / dalil hukum yang didasarkan atas akal, dalam metodologi hukum Islam (Usul Fikih), dikonstruksi oleh ulama dengan istilah Ijtihad. Salah satu metode ijtihad adalah ‘urf (penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan/tradisi/adat setempat). Penetapan hukum yang didasarkan atas kebiasaan setempat (‘urf) ini tentu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat  dan hanya digunakan dalam bidang muamalah (diluar persoalan ibadah mahdhah/ritual)

Penyerapan adat ke dalam hukum (Islam) dilakukan juga terhadap adat/tradisi Arab sebelum Islam. Penyerapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

    1. تهميل (adaptive-complement)

Tahmil atau apresiatif diartikan sebagai sikap menerima atau membiarkan berlakunya sebuah tradisi. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dalam ketentuan atau aturan yang bersifat umum dan tidak mengubah paradigma keberlakuannya. Bersifat umum, artinya ayat-ayat yang mengatur

_____________________________

*Makalah disampaikan dalam kajian ASWAJA di UNU Purwokerto pada hari   Jumat tanggal 16 Oktober 2020

 

tidak menyentuh masalah yang mendasar dan nuansanya berupa

anjuran dan bukan perintah. Disisi lain, aturannya lebih banyak menyangkut etika yang sebaiknya dilakukan tetapi tidak mengikat.

Contoh dalam masalah ini adalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.

    1. تحر يم (destructive)

Tahrim diartikan sebagai sikap yang menolak keberlakuan sebuah tradisi masyarakat. Sikap ini ditunjukkan dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi dimaksud oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Pelarangan terhadap praktik tersebut juga dibarengi dengan ancaman bagi yang melakukannya. Termasuk dalam kategori ini dalah kebiasaan berjudi, minuman khamr, praktik riba, dan perbudakan.

    1. تغيير (adaptive-reconstructive)

Taghyir adalah sikap Al-Qur’an yang menerima tradisi Arab, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Qur’an tetap menggunakan simbol-simbol atau pranata sosial yang ada, namun keberlakuannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, sehingga karakter aslinya berubah. Al-Qur’an mentransformasikan nilai-nilainya ke dalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa ketentuan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk dalam kelompok ini adalah : pakaian dan aurat perempuan, hukum-hukum yang terkait dengan perkawinan (keluarga), anak angkat, hukum waris, dan qishash-diyat

B. Prinsip “Segala Sesuatu Boleh Dilakukan”

Metode berfikir  di kalangan madzhab Syafi’i antara lain berpijak pada kaidah  الأصل في الأشياء الإباحة (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh). Sedangkan  dikalangan madzhab Hanafi menggunakan kaidah sebaliknya yaitu الأصل في الأشياء التحريم  (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah dilarang) Dalam perkembangannya dua kaidah yang kontradiktif tersebut diberikan peran masing-masing dengan cara membedakan wilayah kajiannya. Kaidah الأصل في الأشياء الإباحة ditempatkan dalam kajian bidang muamalah (selain ibadah mahdhah/ritual) dan kemudian muncul kaidah    الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل الدليل على التحريم (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh dalil/nash)  Sedangkan kaidah  الأصل في الأشياء التحريم  ditempatkan dalam wilayah kajian ibadah mahdhoh / ritual dan kemudian muncul kaidah  الأصل في العبادة التحريم إلا أن يدل الدليل على الإباحة (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan)

Memahami dan mencermati dua prinsip kaidah tersebut sangat penting untuk menilai apakah tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat tersebut boleh atau tidak, bid’ah atau tidak bid’ah. Prinsip yang pertama, dalam urusan/wilayah/bidang  muamalah (selain ibadah)  adalah “segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah, asalkan tidak ada larangan”, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya, yang penting tidak ada dalil yang melarangnnya. Sedangkan prinsip kedua, seseorang tidak boleh melakukan ibadah kalau tidak ada perintah, atau lebih jelasnya “seseorang boleh melakukan suatu ibadah kalau ada perintah, walaupun tidak ada larangan”.

Oleh karena itu, tradisi/kebiasaan/adat apapun yang ada dimasyarakat, selagi tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (tidak ada nash yang melarang) adalah boleh saja dilakukan (ibahah).

Bahkan suatu tradisi/kebiasaan/adat tertentu bisa dijadikan dasar penetapan (legitimasi) hukum dan sekaligus  sebagai dasar (legitimasi) penyelesaian persengketaan hukum , terutama dalam bidang jual beli (transaksi atau akad). Prinsip ini ada dalam kaidah : العادة محكمة (adat dapat dijadikan dasar penetapan hukum). Hal ini disebabkan karena persoalan muamalah tidak semuanya dan tidak mungkin diatur secara detail dalam nash (yang diatur secara rinci dalam nash sangat terbatas, sebagian besar yang lain adalah prinsip-prisip dasarnya saja yang diatur), tidak demikian halnya dalam masalah ibadah, sebagian besar diatur secara detail termasuk teknis pelaksanaannya.

C. Prinsip Kemaslahatan/Kemanfaatan

Salah satu prinsip penting lain yang digunakan dalam menetapkan hukum atau menilai “sesuatu” adalah kemaslahatan atau kemnfaatan riil. Metode ini dalam hukum Islam (Usul Fikih) disebut istishlah atau maslahah mursalah. Oleh karena itu salah satu paramerter untuk menilai tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat baik atau tidak, boleh atau tidak boleh, bid’ah atau tidak bid’ah adalah apakah bermanfaat/ada nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila tradisi/kebiasaan/adat itu ada manfaat/ maslahatnya atau tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya boleh (ibahah). Sekali lagi selama tradisi/kebiasaan/adat tersebut tidak berkaitan dengan ibadah atau masuk dalam sistem/teknis ibadah, dan selama tidak ada nash qath’iy yang melarangnya, maka tidak dilarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.