PENGUATAN KEMAMPUAN BAHASA INGGRIS MAHASISWA UNTUK KOMUNIKASI INTERKULTURAL
PENGUATAN KEMAMPUAN BAHASA INGGRIS MAHASISWA UNTUK KOMUNIKASI INTERKULTURAL
(Belajar dari KKN Internasional Unsoed dan Ibaraki University)
Presentasi “Final Report” KKN Internasional Mahasiswa Unsoed dan Ibaraki University, 27 Agustus 2018
Nuansa keakraban antara mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dengan Ibaraki University, Jepang cukup membuat pengunjung auditorium Fakultas Pertanian Unsoed tampak bersemangat. Pasalnya, pada hari itu mereka terjadwal untuk mempresentasikan “Final Report” dari kegiatan KKN Internasional (International Community Service) antara mahasiswa Unsoed dan Ibaraki University yang telah dilakukan selama hampir sepekan di Serang, Purbalingga.
Satu hal yang dapat diambil dari momen tersebut adalah pentingnya pembiasaan penggunaan bahasa Inggris dalam mengasah kemampuan komunikasi internasional mahasiswa PBI. Salah satu dosen prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) UNU Purwokerto yang juga turut hadir dalam “Final Report” tersebut, Naeli Rosyidah, S.S., M. Hum., menyatakan bahwa bahasa Inggris sangat penting sebagai alat komunikasi internasional atau interkultural. Dalam presentasi tersebut, penggunaan bahasa Inggris menjadi pilihan paling tepat dalam mengkonstruk pemahaman antara pemapar yaitu tiga mahasiswa Unsoed, 6 mahasiswa Ibaraki University, seorang moderator dan interpreter dengan peserta. Dalam salah satu penyampaiannya, Kotone Yano, mahasiswi Ibaraki University yang saat itu memakai kebaya dan rok batik mengungkapkan bahwa terdapat kendala pada saat mengunjungi beberapa Sekolah Dasar (SD) untuk mengenalkan kebudayaan Jepang, belajar bahasa asing, dan membuat poster. Interaksi sulit dilakukan oleh para mahasiswa Ibaraki University dengan siswa-siswa SD karena keterbatasan komunikasi. Anak-anak itu tidak dapat berbicara bahasa Inggris apalagi bahasa Jepang, sehingga mahasiswa dari Unsoed membantu dalam berkomunikasi.
Sempat berkomunikasi dengan salah satu profesor dari Ibaraki University, Prof. Tatsuo SATO Ph. D. dengan menggunakan bahasa Inggris, Naeli Rosyidah mengatakan bahwa Sato Sensei (sapaan akrab Prof. Tatsuo Sato) menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi dengannya. Beberapa hal yang didiskusikan adalah kegiatannya bersama mahasiswa Unsoed dan Ibaraki University selama di Purwokerto, kesan-kesan, serta rencana kegiatan mendatang di Indonesia. Dalam obrolan tersebut, bahasa inggris sebagai alat komunikasi diakui sangat menguntungkan dalam tukar informasi. Kendala selama obrolan tersebut tidaklah terlalu signifikan karena istilah-istilah yang tidak dimengerti satu sama lain dapat dijelaskan dengan penjabaran atau contoh.
Untuk itu, perlu adanya penguatan tidak hanya kompetensi bahasa Inggris untuk komunikasi interkultural tetapi juga pemahaman bagaimana membangun komunikasi interkultural yang baik dan efektif. Tulisan Fay Patel, Mingsheng Li, dan Prahalad Sooknanan (2011) dalam bukunya berjudul Intercultural communication: Building a global community mengungkapkan langkah-langkah bagaimana seseorang dapat berhasil mengasah keterampilan dalam menangani berbagai pertemuan multikultural. Langkah-langkah tersebut membutuhkan waktu, energi, dan komitmen dalam implementasinya. Penulis mencoba merangkum beberapa langkah tersebut.
Pertama, lakukan self-assessment dengan analisa sikap diri sendiri terhadap budaya dan budaya orang lain karena hal itu dapat memengaruhi komunikasi dengan mengetahui budaya seseorang, mengetahui persepsi seseorang, dan mengetahui bagaimana bertindak atas persepsi-persepsi itu. Kedua, pertimbangkan situasi dan konteks karena dapat mempengaruhi hasil dari pertemuan interkultural. Waktu, misalnya, merupakan pertimbangan penting dalam komunikasi sehingga waktu yang paling tepat perlu ditentukan demi hasil terbaik. Ketiga, terbuka dalam komunikasi karena tidak ada yang dapat menjamin komunikasi yang sukses. Seperti konteks, budaya atau orang bervariasi, maka perlu fleksibilitas dengan menyesuaikan perilaku komunikasinya. Keempat, berkomunikasi dengan empati dan penghargaan terhadap perbedaan. Empati dan penghargaan memungkinkan untuk berimajinasi di dunia budaya orang lain dan mencoba untuk mengalami apa yang mereka alami. Dengan cara ini, akan terbangun toleransi. Kelima, pengembangan kompetensi bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Dalam berkomunikasi, perlu dihindari adanya klise dan idion untuk menghindari salah tafsir, selain itu perlu dikembangkan kepekaan terhadap kode yang berbeda baik verbal maupun nonverbal dari budaya lain. Keenam, melakukan umpan balik atau konfimasi informasi dengan segera, jujur, spesifik, dan jelas untuk menghilangkan kesalahpahaman. Ketujuh, hindari stereotip dan etnosentrisme serta kembangkan rasa universalisme. Dengan kata lain, berusaha menyatukan semua sebagai warga global tanpa memandang perbedaan budaya, agama, ras, etnis, jenis kelamin, kelas, dll.
Dengan demikian, dalam komunikasi interkultural mahasiswa perlu melatih diri untuk menguatkan bahasa Inggris sebagai bahasa global dan membangun kompetensi komunikasi interkultural. Keduanya tidak bisa dipisahkan karena potensi bahasa saja tidak menjamin kesuksesan komunikasi jika tidak disertai dengan sikap memahami dan menghargai budaya lainnya.
By; Naeli Rosyidah, S.S., M. Hum