HALALFOOD-TEKNOLOGI PANGAN: MENGETAHUI TITIK KRITIS KEHALALAN TERIGU
Halal-SDGs Foodtech Future – Industri pangan telah berkembang dengan sangat pesat. Saat ini makanan tidak lagi hanya sekedar direbus, dikukus, dan digoreng saja, namun juga diolah dengan berbagai bahan baku (ingredients) yang beraneka ragam. Untuk meningkatkan kualitas, penampilan, masa simpan, rasa, serta aroma, para praktisi pengolahan pro-duk pangan menggunakan bahan baku (utama) dan bahan tambahan pangan (BTP), seperti : penyedap, pemanis, pengemulsi, pengembang, pewarna, pelapis, pelembut, pencegah peng-gumpalan (anti-caking agent), dan lain-lain. Ingredient yang ditambahkan terkadang tidak hanya satu macam, namun kombinasi dari berbagai bahan. Sebagai konsumen Muslim, sudah selayaknya kita memahami status keha-lalan ingredien yang dipakai dalam membuat beraneka produk makanan dan minuman. Untuk lebih amannya, sebaiknya kita hanya menggunakan bahan-bahan yang telah jelas status kehalalannya. Demikian ditambahkan oleh Kavadya Syska yang juga Penggagas Pusat Pangan Halal, UNU Purwokerto.
Tepung terigu adalah bahan baku uta-ma yang dipakai dalam pembuatan berbagai produk makanan, seperti : rerotian (bakery), mie (noodle), spaghetti, piza, dll. Tepung terigu kaya akan kandungan karbohidrat, namun sangat sedikit kandungan vitamin dan mineralnya. Untuk memperkaya kandungan nutriennya, beberapa bahan tambahan pangan sering ditambahkan sebagai fortifikan tepung terigu.
Keputusan Menteri Kesehatan Rep. Indonesia No. 962/Menkes/SK/VII/2003 tentang Fortifikasi Tepung Terigu menye-butkan bahwa terigu yang diproduksi, diimpor atau diedarkan di Indonesia harus mengandung fortifikan, yang meliputi: zat besi (Fe), seng (Zn), vitamin B1, vitamin B2, serta asam folat.
Dari sisi kehalalannya, tepung terigu relatif tidak ada masalah. Akan tetapi, ber-bagai bahan dan improving agents yang ditambahkan rentan terhadap berbagai pencemaran bahan haram. Sebagai contoh, vitamin B1 (thiamine), vitamin B2 (riboflavin), dan asam folat (folic acid) yang bersumber dari tanaman halal dikonsumsi. Vitamin-vitamin tersebut berubah status menjadi tidak halal manakala diproduksi secara mikrobiologis menggunakan media yang tidak halal.
Contoh fortifikan lain yang berstatus syubhat adalah asam amino L-sistein (L-cysteine hydrochloride). Bahan ini sering dipakai untuk melunakkan gluten gandum, sehingga dihasilkan produk tepung terigu yang lembut (halus) dan volumenya lebih besar. Ada 3 macam sumber L-sistein, yaitu: dari hasil ektraksi rambut manusia, ekstraksi bulu binatang, dan dari produk mikrobial.
Fatwa ulama menyebutkan bahwa L-sistein yang diekstraksi dari rambut manusia hukumnya haram. Selanjutnya, L-sistein yang diekstraksi dari bulu unggas dan pro-duk mikrobial lainnya hukumnya syubhat. L-sistein yang diperoleh dari bulu unggas, seperti : bulu bebek (duck feather) dan bulu ayam (chicken feather) hukumnya haram jika diekstraksi dari bulu unggas yang tidak disembelih secara syar’i. L-sistein yang di-hasilkan dari reaksi mikrobial juga berstatus haram jika mikrobianya ditumbuhkan pada media yang tidak halal.
Sumber: wawancara dan olah pustaka
Teknologi Pangan: Kreatif, Inovatif, Luar Biasa
Teknologi Pangan: Developing Creative and Innovative Future